Monday, 7 July 2025

Misteri Kegagalan Industri Dirgantara Indonesia


Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak proyek pesawat N250 dihentikan secara tiba-tiba di tengah krisis moneter 1998, namun luka dan pertanyaan yang ditinggalkannya belum sepenuhnya sembuh. Banyak kalangan menilai bahwa pembatalan proyek ambisius ini bukan semata karena krisis, melainkan turut disebabkan oleh intervensi lembaga internasional seperti IMF yang memberi syarat bantuan dengan menghentikan program-program strategis Indonesia, termasuk N250 yang dikembangkan oleh IPTN—kini PT Dirgantara Indonesia.

Padahal, N250 bukan sekadar proyek pesawat biasa. Ia adalah simbol dari mimpi besar bangsa untuk mandiri di sektor teknologi tinggi, terutama dirgantara. Pesawat ini didesain sepenuhnya oleh insinyur Indonesia dan menjadi pesawat turboprop pertama di dunia yang menggunakan teknologi fly-by-wire. Namun, setelah krisis melanda dan tekanan internasional menguat, proyek ini terhenti dan IPTN pun mengalami restrukturisasi besar-besaran.

Yang menyedihkan, setelah dihentikan, tidak ada rencana cadangan (plan B) yang jelas untuk menjaga agar teknologi dan sumber daya manusianya tetap lestari. Sebagian besar insinyur terbaiknya memilih pergi, baik karena pensiun tanpa regenerasi, atau dibajak negara lain yang menyadari betapa bernilainya mereka. Akibatnya, warisan pengetahuan dan inovasi yang dahulu pernah dibanggakan kini nyaris menjadi kenangan.

Ironisnya, negara-negara lain seperti Turki dan Tiongkok justru dalam periode yang sama melakukan akselerasi luar biasa dalam teknologi dirgantara dan pertahanan. Turki, yang dahulu jauh di bawah Indonesia dalam hal teknologi pesawat, kini memiliki jet tempur KAAN, helikopter tempur T129, serta pesawat nirawak Bayraktar yang diekspor ke banyak negara. Tiongkok bahkan sudah melampaui banyak negara Barat dalam hal integrasi AI dalam pesawat militer dan drone tempur.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa Indonesia, yang sudah lebih dahulu mengembangkan industri strategis, justru tak bisa mempertahankan bahkan menghidupkannya kembali? Mengapa hingga kini, Defend ID—holding industri pertahanan yang menaungi PT DI—belum mampu mengulang pencapaian seperti era IPTN dahulu?

Pemerintah seharusnya tidak tinggal diam. DPR bersama Kementerian BUMN perlu melakukan kajian mendalam tentang mengapa industri strategis Indonesia begitu rentan terhadap gejolak ekonomi. Apakah memang kesalahan ada pada struktur manajemen, minimnya visi jangka panjang, atau karena tekanan politik luar negeri yang tak diantisipasi?

Kajian ini penting bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi sebagai bahan evaluasi menyeluruh untuk masa depan. Kita tidak bisa berharap membangun industri maju jika pelajaran dari kegagalan masa lalu tidak dipetakan dengan jelas. Apalagi industri seperti dirgantara dan pertahanan memiliki siklus panjang dan memerlukan kesinambungan pengetahuan antargenerasi.

Regenerasi juga menjadi isu kritis. Banyak teknologi IPTN kini hilang karena para perintisnya telah pensiun. Sayangnya, tidak ada upaya sistemik untuk mewariskan pengetahuan itu ke generasi berikutnya. Tak heran jika kini kita mulai dari nol lagi, meski pernah berada jauh di depan.

Pemerintah mestinya memiliki sistem pencatatan dan pelestarian teknologi, semacam "bank pengetahuan" atau knowledge repository, agar warisan intelektual bangsa tak mudah lenyap hanya karena satu periode krisis. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan sangat menjaga warisan teknologinya bahkan saat menghadapi tantangan besar.

Kesedihan bertambah ketika melihat betapa minimnya ekspos publik terhadap keberhasilan masa lalu seperti N250. Generasi muda bahkan banyak yang tidak tahu bahwa Indonesia pernah membuat pesawat sendiri dengan teknologi canggih pada masanya. Ini menunjukkan bahwa kita tak hanya kehilangan teknologinya, tapi juga kehilangan kebanggaan kolektif sebagai bangsa.

Sementara itu, Defend ID yang dibentuk sebagai holding untuk menyatukan kekuatan industri pertahanan, sampai saat ini belum menunjukkan langkah besar yang konkret. Inovasi baru dari PT DI masih terbatas pada pesanan luar negeri atau penyempurnaan produk lama, tanpa adanya loncatan teknologi signifikan yang bisa menandingi semangat zaman IPTN.

Padahal peluang terbuka lebar. Indonesia adalah negara kepulauan dengan kebutuhan besar akan pesawat perintis, drone pengawasan, hingga helikopter multifungsi. Tetapi bila tidak ada kebijakan strategis yang mendukung litbang dan ekosistem teknologi, semua peluang itu hanya akan berakhir pada impor atau proyek patungan yang tidak memperkuat kemandirian.

Tentu kita tidak mengharapkan industri strategis hanya menjadi beban APBN atau sekadar etalase. Tetapi jika ingin efisien, maka pembinaan ekosistem yang konsisten sangat diperlukan—dari pendidikan vokasi hingga kemitraan riset dengan universitas dan start-up AI, seperti yang dilakukan Turki dengan Baykar dan Roketsan.

Kelemahan lainnya adalah minimnya kehadiran negara dalam menumbuhkan budaya inovasi. Jika negara ingin kembali memimpin seperti masa N250, maka birokrasi penghambat harus disapu, pendanaan riset diperbesar, dan insentif diberikan kepada talenta muda agar tidak lari ke luar negeri.

Momentum saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan koreksi besar. Di tengah perang teknologi global dan perubahan geopolitik, kemandirian pertahanan dan dirgantara bukan pilihan, melainkan keharusan. Indonesia memiliki dasar, tinggal bagaimana memadukan visi, kepemimpinan, dan keberanian mengeksekusi.

Lebih dari sekadar nostalgia, pelajaran dari N250 semestinya menjadi bahan refleksi nasional. Sebuah bangsa besar tidak boleh menyerah pada satu kegagalan. Dan sejarah menunjukkan, bangsa yang mampu bangkit dari kegagalan teknologinya adalah bangsa yang benar-benar merdeka.

Baca selanjutnya

Admin

PKBM & KataBijak

PKBM Kata Bijak adalah sekolah alternatif untuk menaungi mereka yang tidak mampu. Bagian dari Sultan Group, kami dapat dihubungi di: +6281284179400 atau email: redaksi.dekho@gmail.com

0 comments:

Post a Comment