Sometimes you need advice, Ask a teacher to solve your problems.

Make a Difference with education, and be the best.

Putting Children First. Preparing Children For Success In Life

How you can get top grades, to get a best job.

Latest Posts

Thursday, 17 April 2025

Lembaga Pemikir Politik Kian Strategis di Tengah Krisis Dunia

Admin2


Di tengah ketegangan geopolitik yang kian meningkat, peran lembaga-lembaga politik non-pemerintah di Indonesia semakin terasa relevan dan strategis. Forum-forum diskusi, kajian kebijakan luar negeri, hingga pelatihan kepemimpinan menjadi jembatan penting dalam menyikapi dinamika global. Salah satu yang terbaru adalah forum panel yang digelar oleh The Yudhoyono Institute bertema “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global”, yang diadakan pada Minggu, 13 April 2025 di Jakarta.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, membuka diskusi dengan penekanan penting: Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam dinamika dunia. Ketegangan antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar isu luar negeri, tetapi berimbas langsung pada kawasan dan masa depan bangsa.

The Yudhoyono Institute sendiri lahir dari gagasan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Lembaga ini berfokus pada pengembangan kepemimpinan muda, kajian kebijakan publik, dan diplomasi berbasis data. Di tengah polarisasi politik dunia, The Yudhoyono Institute menawarkan narasi rasional dan moderat.

Selain The Yudhoyono Institute, ada pula The Habibie Center yang tak kalah berpengaruh. Didirikan untuk meneruskan warisan pemikiran Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, lembaga ini menitikberatkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan teknologi. Di bawah kepemimpinan intelektual dan berbagai kerja sama internasional, The Habibie Center menjadi referensi utama bagi studi demokrasi di Asia Tenggara.

Sementara itu, The Wahid Institute yang didirikan untuk mengenang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), fokus pada pluralisme, toleransi, dan pemikiran Islam progresif. Di tengah naiknya intoleransi global, peran lembaga ini menjadi benteng pemersatu yang tak ternilai. Gagasan-gagasan Gus Dur tentang kebangsaan dan kemanusiaan masih menjadi rujukan penting dalam membangun harmoni sosial.

Megawati Institute juga hadir sebagai wadah intelektual untuk mengembangkan pemikiran nasionalisme dan kebijakan kerakyatan. Terinspirasi dari perjuangan Megawati Soekarnoputri, lembaga ini aktif mengkaji isu-isu kerakyatan, ketahanan pangan, dan geopolitik dari perspektif Indonesia-sentris.

Tak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa, The Sukarno Center juga memainkan peran strategis. Berbasis di Bali, lembaga ini mempromosikan pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang kemandirian, anti-imperialisme, dan dunia yang adil. Lembaga ini kerap menjadi tuan rumah pertemuan kebudayaan dan dialog antarbangsa.

Nama Akbar Tanjung Institute juga patut disebut. Fokus pada pengembangan politik kebangsaan dan kaderisasi kepemimpinan, lembaga ini banyak melahirkan pemimpin muda dari berbagai latar belakang. Kiprah Akbar Tanjung yang sarat pengalaman menjadi inspirasi dalam membentuk pemimpin yang tangguh dan adaptif.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan, Jusuf Kalla School of Government di bawah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menekankan pentingnya etika birokrasi dan inovasi kebijakan. Lembaga ini menjadi pelopor pendidikan kepemimpinan publik berbasis nilai-nilai Islam moderat dan semangat gotong royong.

Tidak kalah menarik adalah STID Muhammad Natsir, lembaga pendidikan dan pemikiran Islam yang menanamkan nilai perjuangan dan dakwah. Mengusung warisan pemikiran tokoh Masyumi, STID membentuk kader intelektual Muslim yang tak hanya religius, tetapi juga nasionalis dan terbuka terhadap dinamika global.

Kehadiran berbagai lembaga ini mencerminkan kekayaan tradisi intelektual dan politik Indonesia. Masing-masing membawa perspektif, metode, dan agenda tersendiri dalam menjawab tantangan zaman. Namun semuanya memiliki kesamaan: mengabdi kepada bangsa dan negara.

Di saat negara-negara besar seperti Amerika dan China saling berhadapan, Indonesia membutuhkan ruang refleksi dan kajian strategis yang tidak partisan. Di sinilah lembaga-lembaga tersebut memainkan perannya, menjadi ruang tengah antara idealisme dan pragmatisme kebijakan.

Peran mereka tak hanya di ruang akademik, tetapi juga menjangkau masyarakat luas melalui pelatihan, diskusi publik, dan advokasi. Di era disinformasi dan polarisasi, mereka menawarkan pendekatan berbasis pengetahuan, bukan sekadar opini.

Dari diskusi The Yudhoyono Institute minggu lalu, tampak bahwa para pemikir Indonesia sadar betul akan urgensi ketahanan geopolitik. Dalam forum tersebut dibahas ancaman resesi global, persaingan teknologi, serta perlunya diplomasi aktif dan adaptif.

Isu-isu seperti kecerdasan buatan, perubahan iklim, dan ekonomi digital juga tak luput dari pembahasan. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga politik di Indonesia tidak hanya terjebak pada masa lalu, tetapi terus bergerak mengikuti arus zaman.

Lebih jauh, banyak dari mereka menjalin kolaborasi dengan mitra luar negeri, baik dari Eropa, Amerika, maupun Asia Timur. Ini menciptakan ekosistem gagasan yang global namun tetap berakar pada konteks lokal.

Ke depan, tantangan yang dihadapi Indonesia akan semakin kompleks. Maka lembaga-lembaga ini perlu terus diperkuat, baik dari sisi dana, jaringan, maupun SDM. Pemerintah dan swasta sepatutnya mendukung peran mereka secara serius.

Dengan demikian, Indonesia dapat memiliki basis pemikiran strategis yang tangguh dan independen. Bukan hanya mengikuti arah angin kekuasaan global, tapi mampu menentukan jalannya sendiri.

Di tengah era ketidakpastian global, lembaga-lembaga politik ini menjadi jangkar intelektual dan moral bagi bangsa. Mereka adalah penjaga nalar dan penyuluh arah dalam menghadapi badai zaman yang terus berubah.

Dibuat oleh AI, baca info lain 

Sunday, 13 April 2025

Riwayat Tuan Ibrahimsyah dari Tarusan, Perjalanan ke Barus

Admin2


Sebuah narasi sejarah yang kaya dan penuh misteri mengalir dari catatan kuno mengenai perjalanan seorang tokoh bernama Sultan Ibrahim (Tuan Ibrahimsyah) dari Tarusan, sebuah desa yang terletak di wilayah Padangsche Bovenlanden (Sumatera Barat sekarang).

Kisah ini menyingkap jejak langkah sang sultan hingga ke jantung Tanah Batak, sebuah perjalanan yang kelak melahirkan salah satu figur paling ikonik dalam sejarah Sumatera Utara.

Kisah bermula dari Barus, sebuah kawasan pesisir yang memiliki signifikansi historis tersendiri. Dari sana, Sultan Ibrahim memulai perjalanannya yang membawanya melintasi berbagai wilayah, termasuk sebuah desa pantai yang kala itu dikenal sebagai Batu Mundam, yang terletak di Natal. Perjalanan ini kemudian berlanjut menyusuri Batang Toru, Silindung, Bakkara, Pasaribu, hingga kembali ke Barus, sebuah rute yang diwarnai dengan berbagai kisah dan kemungkinan interaksi dengan masyarakat setempat.

Dalam catatan sejarah tersebut, tersirat sebuah peristiwa penting ketika Sultan Ibrahim berada di Silindung. Di wilayah yang dikenal dengan keindahan alamnya ini, sang sultan diceritakan menunjuk empat orang tokoh sebagai wakilnya.

Keempat tokoh tersebut adalah Orang Kaya Tua, Bagot Sinta, Orang Kaya La Muda, dan Baginda Mulana (atau Maulana). Nama-nama ini kemudian muncul kembali sebagai gelar para "viceroy" atau wakil dari Si Singa Mangaraja, menunjukkan adanya kesinambungan kepemimpinan dan pengaruh.

Perjalanan Sultan Ibrahim tidak berhenti di Silindung. Ia melanjutkan langkahnya menuju Bakkara, sebuah wilayah yang memiliki peran sentral dalam sejarah Batak. Di Bakkara, Sultan Ibrahim tinggal untuk sementara waktu. Namun, takdir membawanya untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Sebuah catatan penting menyebutkan bahwa sebelum meninggalkan Bakkara, Sultan Ibrahim meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung.


Takdir kemudian menuliskan babak baru dalam sejarah Batak. Di Bakkara, istri Sultan Ibrahim melahirkan seorang anak laki-laki. Anak inilah yang kelak dikenal sebagai Singa Mangaraja pertama, seorang tokoh yang akan memainkan peran krusial dalam sejarah perjuangan dan identitas Batak di masa-masa selanjutnya. Kelahiran Singa Mangaraja pertama di Bakkara menjadi penanda penting dalam garis keturunan kepemimpinan di wilayah tersebut.

Kisah perjalanan Sultan Ibrahim dari Tarusan hingga melahirkan Singa Mangaraja pertama di Bakkara menyimpan berbagai misteri dan interpretasi sejarah. Catatan mengenai penunjukan wakil di Silindung dan kelahiran sang tokoh legendaris di Bakkara mengindikasikan adanya pengaruh dan interaksi antara wilayah pesisir dan pedalaman Batak pada masa itu.

Jejak Sultan Ibrahim menjadi mata rantai penting dalam memahami genealogi kepemimpinan dan pembentukan identitas di Tanah Batak. Meskipun catatan sejarah mungkin tidak sepenuhnya detail, namun keberadaan kisah ini memberikan gambaran tentang dinamika sosial dan politik pada masa lalu.


Kisah ini juga menyoroti pentingnya tradisi lisan dan catatan-catatan sejarah dalam melestarikan memori kolektif suatu masyarakat. Meskipun mungkin dihiasi dengan unsur-unsur legenda atau keajaiban, inti dari kisah perjalanan Sultan Ibrahim dan kelahiran Singa Mangaraja pertama tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi sejarah Batak.
Penelitian lebih lanjut terhadap catatan-catatan sejarah dan tradisi lisan dapat membantu mengungkap lebih dalam mengenai sosok Sultan Ibrahim, motivasi perjalanannya, serta dampaknya terhadap struktur sosial dan politik di wilayah Batak pada masa itu. Kisah ini menjadi jendela untuk melihat interkoneksi antar wilayah dan pembentukan tokoh-tokoh penting dalam sejarah.

Dengan menelusuri jejak Sultan Ibrahim, kita tidak hanya memahami asal-usul salah satu tokoh sentral dalam sejarah Batak, tetapi juga mendapatkan wawasan yang lebih luas mengenai dinamika interaksi antar budaya dan wilayah di Sumatera Utara pada masa lampau. Kisah ini adalah bagian penting dari mozaik sejarah bangsa yang patut untuk terus dipelajari dan dilestarikan.

Monday, 17 March 2025

Mengapa Rusia tak Ikutan 'Pansos' di Laut Merah Terkait Houthi vs AS?

Admin
Konflik yang berkecamuk di Laut Merah antara kelompok Houthi dan Amerika Serikat beserta sekutunya telah menarik perhatian dunia. Namun, satu negara yang tampak menjaga jarak dari konflik ini adalah Rusia. Mengapa Moskow memilih untuk tidak terlibat langsung dalam situasi yang berpotensi memicu eskalasi regional ini?

Ada beberapa faktor yang mungkin menjelaskan sikap Rusia. 

Pertama, Rusia memiliki kepentingan strategis di wilayah Timur Tengah, tetapi kepentingan tersebut tidak secara langsung terancam oleh konflik di Laut Merah. Rusia memiliki hubungan baik dengan Iran, yang dianggap sebagai pendukung Houthi, tetapi Rusia juga berusaha untuk menjaga hubungan dengan negara-negara Arab lainnya.

Kedua, Rusia mungkin melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk memperkuat posisinya sebagai penyeimbang kekuatan global. Dengan tidak terlibat langsung, Rusia dapat memposisikan dirinya sebagai mediator potensial dan memperkuat pengaruhnya di kawasan.

Ketiga, Rusia mungkin memiliki kekhawatiran tentang potensi eskalasi konflik yang lebih luas. Jika Rusia terlibat langsung, hal itu dapat memicu konfrontasi dengan AS dan sekutunya, yang dapat memiliki konsekuensi yang tidak terduga.


Keempat, Rusia saat ini sedang fokus pada konflik di Ukraina. Dengan sumber daya militer dan diplomatik yang terbatas, Rusia mungkin memilih untuk memprioritaskan konflik di Ukraina daripada konflik di Laut Merah.
Kelima, Rusia mungkin melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk melemahkan pengaruh AS di kawasan. Dengan membiarkan AS terlibat dalam konflik yang berlarut-larut, Rusia dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya AS dari wilayah lain, termasuk Ukraina.

Namun, bukan berarti Rusia sama sekali tidak memiliki kepentingan dalam konflik ini. Rusia memiliki kepentingan ekonomi di Laut Merah, karena jalur pelayaran ini penting untuk perdagangan global. Rusia juga memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas regional, karena konflik yang berlarut-larut dapat berdampak negatif pada keamanan dan ekonomi Rusia.

Oleh karena itu, Rusia mungkin akan terus memantau situasi dengan cermat dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi kepentingannya. Rusia juga mungkin akan menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mendorong de-eskalasi dan mencari solusi damai.

Dalam beberapa pernyataan, pejabat Rusia menyerukan de-eskalasi, dan menunjuk pada apa yang mereka lihat sebagai tindakan provokatif AS. Rusia Juga memberi indikasi, bahwa mereka tidak keberatan dengan adanya gangguan pada jalur perdagangan dunia, karena hal tersebut dapat memberi tekanan kepada negara-negara eropa, yang notabene adalah pendukung ukraina.

Secara keseluruhan, sikap Rusia terhadap konflik Houthi-AS di Laut Merah mencerminkan pendekatan pragmatis dan hati-hati. Rusia berusaha untuk melindungi kepentingannya tanpa terlibat langsung dalam konflik yang berpotensi memicu eskalasi regional.

Dibuat oleh AI

Our Team

  • Syed Faizan AliMaster / Computers
  • Syed Faizan AliMaster / Computers
  • Syed Faizan AliMaster / Computers
  • Syed Faizan AliMaster / Computers
  • Syed Faizan AliMaster / Computers
  • Syed Faizan AliMaster / Computers