Friday, 26 December 2025

Pembangunan Suriah, Remitansi Diaspora dan Rumah Pulang


Arus remitansi diaspora selama ini kerap dipahami sebatas dana konsumtif untuk kebutuhan harian keluarga yang tertinggal di kampung halaman. Namun dalam konteks Suriah pascaperang di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa, muncul gagasan baru yang memposisikan remitansi sebagai instrumen rekonstruksi, khususnya di sektor perumahan yang hancur atau rusak akibat konflik panjang.

Konsep remitansi konstruktif ini menempatkan diaspora bukan hanya sebagai pengirim uang, tetapi sebagai aktor pembangunan jarak jauh. Dana yang dikirim tidak habis untuk konsumsi jangka pendek, melainkan diarahkan secara bertahap untuk memperbaiki atau membangun kembali rumah dan apartemen yang ditinggalkan selama bertahun-tahun.

Bagi diaspora Suriah yang belum terdesak untuk kembali, pendekatan ini menjadi solusi realistis. Mereka tetap bekerja dan menetap di luar negeri, sambil secara perlahan menyiapkan tempat tinggal di kampung halaman. Rumah atau apartemen tidak dibiarkan menjadi puing yang kian rusak, tetapi dipulihkan secara bertahap.

Praktiknya dimulai dengan diaspora menghubungi desa atau baladiyah setempat untuk memastikan status bangunan dan kondisi lingkungan. Melalui jaringan lokal ini, pemilik rumah kemudian menjalin kerja sama dengan perusahaan konstruksi kecil atau menengah yang beroperasi di wilayah tersebut.

Perbaikan atau pembangunan dilakukan dengan sistem cicilan. Diaspora mengirim dana secara berkala sesuai kemampuan, sementara perusahaan konstruksi mengerjakan proyek secara bertahap. Model ini memungkinkan pembangunan berjalan tanpa harus menunggu modal besar terkumpul sekaligus.

Pendekatan ini juga memberi kepastian bagi diaspora bahwa aset mereka tidak terbengkalai. Saat kondisi politik atau keamanan memungkinkan untuk pulang, apartemen atau rumah tersebut sudah dalam kondisi siap huni, bukan lagi sekadar bangunan rusak yang membutuhkan biaya besar dan waktu lama.

Di sisi lain, skema ini membuka peluang ekonomi bagi pengungsi yang sudah terlanjur kembali ke Suriah. Mereka dapat bekerja di perusahaan konstruksi yang menangani proyek-proyek milik diaspora, memperoleh gaji, dan sekaligus membangun kembali keterampilan kerja di sektor sipil.

Bagi para pengungsi ini, pekerjaan konstruksi sering menjadi sumber pendapatan paling realistis di tengah terbatasnya lapangan kerja. Upah yang diperoleh dapat digunakan untuk menyewa tempat tinggal sementara sebelum mereka mampu memperbaiki atau membangun rumah sendiri.

Hubungan antara diaspora, perusahaan konstruksi, dan warga lokal menciptakan siklus ekonomi yang saling menguntungkan. Dana diaspora berputar di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, sekaligus memperbaiki stok perumahan yang rusak akibat perang.

Perusahaan konstruksi juga memperoleh peran tambahan sebagai pengelola properti. Dengan izin pemilik, apartemen yang telah diperbaiki dapat disewakan sementara kepada warga lokal atau pengungsi lain. Hasil sewa ini menjadi pemasukan tambahan bagi pemilik dan perusahaan.

Model ini membantu mencegah rumah kosong yang rawan rusak, dijarah, atau disita. Apartemen yang ditempati dan dirawat secara aktif memiliki nilai ekonomi dan sosial yang lebih tinggi dibanding bangunan kosong yang dibiarkan terbengkalai.

Dari sudut pandang sosial, pendekatan ini mengurangi kesenjangan antara diaspora dan warga yang tinggal di dalam negeri. Rekonstruksi tidak lagi dipersepsikan sebagai proyek orang luar, tetapi sebagai kerja bersama yang melibatkan tenaga dan kebutuhan lokal.

Pengamat ekonomi konflik menilai remitansi konstruktif jauh lebih berkelanjutan dibanding remitansi konsumtif. Konsumsi memang penting untuk bertahan hidup, tetapi tidak menciptakan aset jangka panjang yang dapat menopang pemulihan ekonomi.

Di Suriah, di mana rekonstruksi negara berjalan lambat dan penuh hambatan politik, inisiatif semacam ini menjadi alternatif di luar jalur resmi. Warga tidak menunggu proyek besar pemerintah, tetapi bergerak melalui jaringan informal yang lebih luwes.

Namun model ini juga memiliki tantangan. Kepastian hukum atas properti tetap menjadi persoalan utama. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, diaspora masih menghadapi risiko kehilangan aset meski sudah menginvestasikan dana besar.

Meski demikian, bagi banyak keluarga Suriah, risiko tersebut dinilai lebih kecil dibanding membiarkan rumah hancur tanpa kepastian. Setidaknya, bangunan yang diperbaiki memberi harapan konkret akan kepulangan suatu hari nanti.

Fenomena ini menunjukkan perubahan cara pandang diaspora terhadap kampung halaman. Mereka tidak lagi sekadar mengirim uang untuk bertahan hidup, tetapi mulai membangun kembali ruang hidup secara nyata, meski dari kejauhan.

Dalam jangka panjang, pola remitansi semacam ini berpotensi membentuk fondasi rekonstruksi akar rumput. Kota dan desa pulih perlahan melalui ribuan proyek kecil, bukan satu proyek raksasa yang sarat kepentingan politik.

Bagi pengungsi yang sudah kembali, keberadaan proyek-proyek ini memberi pilihan selain migrasi ulang. Mereka dapat bekerja, menyewa, dan menata ulang hidup meski dalam keterbatasan.

Remitansi diaspora, dalam konteks ini, berubah dari aliran konsumsi menjadi investasi sosial. Setiap dinding yang diperbaiki dan atap yang dipasang ulang menjadi penanda bahwa pemulihan tidak selalu menunggu negara.

Di tengah ketidakpastian Suriah, rumah yang siap huni menjadi simbol paling nyata dari harapan pulang. Bagi diaspora dan pengungsi, membangun dari jauh kini menjadi cara paling rasional untuk menyiapkan masa depan.

Admin

PKBM & KataBijak

PKBM Kata Bijak adalah sekolah alternatif untuk menaungi mereka yang tidak mampu. Bagian dari Sultan Group, kami dapat dihubungi di: +6281284179400 atau email: redaksi.dekho@gmail.com

0 comments:

Post a Comment