Sunday, 14 September 2025

Evaluasi Kementerian Urusan Pengungsi Jadi Keharusan di Suriah


Krisis Suriah yang berlangsung lebih dari satu dekade telah melahirkan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ini, yakni eksodus jutaan pengungsi. Dari kamp pengungsian di perbatasan Turki, Lebanon, hingga Yordania, kehidupan para pengungsi Suriah menggambarkan luka panjang konflik yang belum kunjung sembuh. Dalam situasi ini, kementerian yang bertanggung jawab terhadap urusan pengungsi perlu terus dievaluasi agar mandatnya benar-benar berpihak pada mereka yang kehilangan rumah dan masa depan.

Selama konflik, isu pengungsi selalu menjadi inti permasalahan yang paling rumit. Meskipun berbagai konferensi internasional membicarakan rekonstruksi Suriah, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jutaan orang masih hidup dalam kondisi serba darurat. Kementerian urusan pengungsi harus mampu bertransformasi dari sekadar lembaga administratif menjadi motor utama solusi jangka panjang.

Prioritas yang tidak bisa ditunda lagi adalah pembenahan kamp pengungsi. Banyak kamp berdiri secara darurat dengan fasilitas seadanya, sehingga jauh dari standar kehidupan layak. Air bersih, sanitasi, listrik, hingga fasilitas pendidikan sering kali minim. Jika belum ada alternatif nyata berupa pemulangan aman ke kampung halaman atau penyediaan rumah permanen, kamp pengungsi harus ditata kembali agar setidaknya manusiawi.

Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dalam sebuah wawancara menekankan pentingnya membaca kritik, meskipun menyakitkan. Pandangan ini sangat relevan dalam konteks kebijakan pengungsi. Kritik dari organisasi kemanusiaan dan lembaga internasional seharusnya dipandang sebagai masukan untuk memperbaiki kondisi yang masih jauh dari harapan.

Sikap terbuka terhadap kritik akan mendorong kementerian terkait untuk lebih responsif terhadap kebutuhan nyata pengungsi. Misalnya, memperbaiki distribusi bantuan, mempercepat pembangunan infrastruktur dasar di kamp, dan menutup celah birokrasi yang menghambat layanan dasar.

Evaluasi terhadap kementerian juga menyangkut efektivitas penggunaan anggaran. Dalam banyak laporan, bantuan internasional kerap terhambat di level administrasi atau tidak sepenuhnya sampai ke pengungsi. Transparansi harus menjadi kata kunci agar setiap dana benar-benar sampai pada mereka yang membutuhkan.

Selain itu, kementerian harus berkolaborasi lebih erat dengan badan-badan internasional seperti UNHCR. Kolaborasi bukan hanya dalam bentuk penyaluran bantuan, tetapi juga dalam merancang skema jangka panjang untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi pengungsi.

Pengungsi Suriah bukan hanya angka statistik, mereka adalah individu dengan hak untuk hidup layak. Oleh karena itu, kementerian terkait wajib mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia, bukan sekadar kebijakan penampungan.

Kamp pengungsi harus mulai diperlakukan sebagai komunitas sementara yang tetap membutuhkan investasi sosial. Sekolah darurat harus ditingkatkan menjadi institusi pendidikan yang memadai. Klinik lapangan harus diperluas agar mampu menangani kebutuhan medis sehari-hari, bukan sekadar keadaan darurat.

Jika kementerian gagal dalam fungsi ini, maka generasi pengungsi Suriah berisiko tumbuh tanpa pendidikan dan kesehatan yang layak. Ini akan menambah lapisan masalah baru, bukan hanya bagi Suriah, tetapi juga bagi kawasan.

Dalam jangka panjang, repatriasi atau pemulangan ke kampung halaman memang menjadi tujuan utama. Namun, realitas keamanan di banyak wilayah Suriah masih belum memungkinkan. Karena itu, kementerian harus menyeimbangkan wacana pemulangan dengan fakta di lapangan, tanpa memaksakan kebijakan yang justru berbahaya bagi pengungsi.

Sebagian negara tetangga mulai mengalami tekanan sosial akibat beban pengungsi yang besar. Hal ini menjadi pengingat bahwa masalah pengungsi Suriah bukan hanya tanggung jawab internasional, tetapi juga harus ditangani serius oleh kementerian dalam negeri Suriah sendiri.

Pembenahan kamp pengungsi juga penting untuk menjaga stabilitas sosial. Kehidupan dalam kondisi penuh kekurangan bisa memicu ketegangan, kriminalitas, atau bahkan menjadi lahan subur bagi perekrutan kelompok radikal. Dengan meningkatkan standar kamp, risiko-risiko ini dapat diminimalkan.

Kementerian harus mampu menyusun mekanisme evaluasi rutin yang transparan, melibatkan masyarakat sipil, dan mendengar langsung keluhan pengungsi. Tanpa suara dari mereka yang terdampak langsung, kebijakan akan tetap jauh dari realitas.

Presiden al-Sharaa benar ketika menyebut bahwa kritik adalah tanda sehatnya sebuah negara. Dalam isu pengungsi, kritik dari berbagai pihak adalah alarm yang seharusnya mendorong perubahan. Jika kementerian urusan pengungsi menutup telinga, maka penderitaan jutaan warga Suriah akan terus berlangsung tanpa solusi.

Sebagai ujian moral, isu pengungsi adalah cermin dari tanggung jawab negara terhadap warganya. Negara yang gagal melindungi pengungsi sama artinya gagal menunaikan fungsi dasarnya sebagai pelindung rakyat.

Kementerian yang bertanggung jawab perlu memastikan bahwa pengungsi tidak diperlakukan sebagai beban, melainkan sebagai warga negara yang sementara kehilangan tempat tinggal. Pendekatan humanis akan memperkuat legitimasi negara di mata rakyatnya sendiri.

Evaluasi berkelanjutan terhadap kementerian urusan pengungsi menjadi pintu masuk untuk reformasi kebijakan kemanusiaan. Dengan perbaikan struktur, transparansi, dan keterbukaan terhadap kritik, kementerian ini bisa menjadi garda terdepan dalam mengembalikan martabat jutaan pengungsi Suriah.

Masa depan Suriah tidak bisa dilepaskan dari masa depan para pengungsi. Jika kamp pengungsian ditata layak, akses pendidikan terjamin, dan hak dasar terpenuhi, maka ketika saatnya tiba untuk kembali ke kampung halaman, mereka akan siap membangun kembali negaranya.

Admin

PKBM & KataBijak

PKBM Kata Bijak adalah sekolah alternatif untuk menaungi mereka yang tidak mampu. Bagian dari Sultan Group, kami dapat dihubungi di: +6281284179400 atau email: redaksi.dekho@gmail.com

0 comments:

Post a Comment