Israel baru-baru ini menarik perhatian media internasional melalui bocoran laporan Axios mengenai proposal perjanjian keamanan baru dengan Suriah. Namun, sejumlah indikasi menunjukkan bahwa langkah ini kemungkinan besar lebih bersifat uji reaksi daripada keseriusan untuk damai.
Cara proposal ini muncul menjadi sorotan pertama. Bukannya melalui jalur diplomatik resmi, tawaran itu justru bocor ke media. Pengamat menilai, jika Israel benar-benar ingin menegosiasikan damai, komunikasi formal melalui saluran diplomatik akan lebih tepat dan kredibel.
Momentum peluncuran proposal juga dianggap sensitif. Tawaran muncul setelah gejolak di Suwaida, sementara kondisi Suriah secara keseluruhan masih rapuh akibat konflik panjang serta posisi SDF Kurdi yang mengeras. Hal ini membuat banyak pihak menilai Israel ingin mengukur kelemahan Damaskus sebelum mengambil langkah lebih nyata.
Model perjanjian yang diajukan Israel pun menuai kritik. Tawaran tersebut mengacu pada kerangka Camp David, tetapi tidak menyertakan elemen kunci seperti pengembalian wilayah penuh. Ketidakseimbangan ini menimbulkan kesan tawaran lebih simbolis daripada substansial.
Dukungan internasional terhadap proposal Israel juga minim. Berbeda dengan perjanjian Mesir-Israel 1979 yang dijamin AS dan didukung bantuan besar, proposal saat ini tidak disertai jaminan kuat dari negara besar manapun.
Respons Suriah sengaja dibiarkan kosong. Israel memanfaatkan diam Damaskus sebagai narasi bahwa pihaknya telah menawarkan perdamaian, tetapi ditolak. Strategi ini menekankan citra Israel sebagai pihak terbuka untuk dialog, sekaligus menekan opini internasional.
Selain itu, analisis pakar menunjukkan bahwa bocoran media dapat menjadi alat propaganda. Dengan menampilkan tawaran damai di publik, Israel bisa menciptakan kesan bahwa pihaknya ingin damai, sementara kebijakan sebenarnya tetap agresif.
Sejumlah pengamat menilai, langkah ini juga berfungsi untuk mengukur reaksi Rusia dan Iran, yang merupakan aktor utama di Suriah. Bagaimana Damaskus merespons dapat memberi Israel dan sekutunya gambaran mengenai tekanan geopolitik yang mungkin muncul.
Konflik di Suwaida baru-baru ini menjadi konteks tambahan. Kerusuhan lokal memberi Israel alasan untuk menguji respons Suriah terhadap tekanan eksternal tanpa terlibat langsung.
Tawaran ini juga bisa dimaknai sebagai strategi psikologis. Dengan menyebarkan ide adanya kesediaan dialog, Israel bisa memengaruhi opini publik internasional dan menekan Damaskus untuk membuat konsesi kecil tanpa benar-benar menyetujui perjanjian besar.
Sejarah hubungan Israel-Suriah juga memperkuat pandangan skeptis. Konflik wilayah Golan Heights belum terselesaikan sejak 1967, dan upaya negosiasi sebelumnya selalu menemui jalan buntu. Ini membuat tawaran terbaru tampak sebagai taktik diplomasi yang berhati-hati, bukan langkah tulus.
Elemen propaganda juga tercermin dari penekanan pada keamanan. Proposal disebut sebagai “perjanjian keamanan baru,” tetapi aspek keamanan itu sendiri ambigu. Tidak jelas apakah mencakup perbatasan, basis militer, atau kontrol wilayah strategis lain.
Beberapa analis menyoroti bahwa strategi ini juga bisa untuk menarik perhatian media internasional. Dengan bocoran yang viral, Israel mendapatkan liputan positif sebagai pihak yang pro-damai, meski implementasi di lapangan minim.
Perbandingan dengan Camp David 1979 memperlihatkan perbedaan besar. Perjanjian Mesir-Israel didukung penuh AS dan memberi Mesir kompensasi ekonomi besar, sementara tawaran Israel saat ini tidak memiliki insentif serupa.
Strategi “tes ombak” seperti ini juga memungkinkan Israel menguji batas diplomasi Suriah. Jika Damaskus menolak, Israel tetap bisa menampilkan diri sebagai pihak yang bersedia berdamai, menjaga citra internasionalnya.
Selain itu, tawaran ini mungkin dimaksudkan untuk memantau reaksi publik Suriah dan regional, termasuk bagaimana negara-negara Arab dan Turki merespons potensi normalisasi hubungan.
Keberadaan Rusia dan Iran sebagai aktor kuat di Suriah menambah kompleksitas. Tawaran Israel kemungkinan juga untuk melihat posisi mereka sebelum melakukan langkah yang lebih konkret di Golan Heights.
Pakar keamanan menyebut, strategi ini bukan hal baru. Israel kerap menggunakan diplomasi publik untuk memanipulasi persepsi dunia, sementara negosiasi resmi tetap minimal atau stagnan.
Kesimpulannya, proposal Israel lebih banyak berfungsi sebagai alat propaganda dan uji reaksi Suriah, bukan sebagai langkah nyata menuju perdamaian. Diamnya Damaskus memperkuat narasi ini.
Dengan konteks konflik yang masih panjang, pengamat menilai bahwa tawaran ini hanya awal dari serangkaian langkah diplomasi publik, bukan pembukaan jalur perdamaian substansial. Israel tetap mempertahankan posisi strategisnya, sementara Suriah dan sekutunya terus mengamati.
0 comments:
Post a Comment