Di dunia Arab dan sekitarnya, sejarah kerap menunjukkan bagaimana garis antara seorang pemimpin dan seorang “teroris” bisa berubah seiring waktu dan kepentingan politik. Seorang tokoh bisa dianggap ancaman oleh lawannya, namun pada saat yang sama dipuja bak pahlawan oleh para pendukungnya. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan cerminan dari dinamika konflik yang mempersoalkan legitimasi, narasi, dan kekuasaan. Tidak terkecuali nama-nama yang hari ini tampil sebagai pemegang otoritas formal di berbagai wilayah konflik di Timur Tengah.
Ahmed Al Sharaa, presiden Suriah saat ini, adalah satu di antara deretan tokoh yang posisinya diwarnai kontroversi sejak awal. Meski memimpin negara yang sedang bangkit dari perang saudara berkepanjangan, rekam jejaknya di masa lalu membuat sebagian lawan politik dan pengamat luar menudingnya berafiliasi dengan kelompok-kelompok milisi garis keras. Namun bagi pendukungnya, Al Sharaa adalah simbol stabilitas baru dan pemimpin yang mampu menjaga kedaulatan Suriah dari intervensi asing serta ancaman ekstremisme.
Fenomena serupa tampak dalam sosok Mazloum Abdi, komandan tertinggi Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang selama ini menjadi mitra utama Amerika Serikat dalam memerangi ISIS. Walau diakui sebagai kekuatan anti-terorisme oleh Barat, bagi Turki ia tidak lebih dari perpanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah lama dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris. Turki terus menuntut ekstradisinya, sementara pendukung Kurdi menganggapnya sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan eksistensi Kurdi di wilayah yang selama ini terpinggirkan.
Kontroversi juga melekat pada tokoh-tokoh sipil yang kini memimpin entitas politik seperti AANES (Administrasi Otonom Suriah Timur Laut). Beberapa dari mereka sebelumnya aktif dalam organisasi yang diasosiasikan dengan PKK atau sayap militer Kurdi. Turki menilai struktur administratif ini hanya kedok bagi ekspansi ideologi separatisme. Namun bagi banyak warga lokal, pemerintahan ini adalah satu-satunya harapan untuk memperoleh kebebasan, kesetaraan gender, dan pemerintahan sipil yang relatif stabil di tengah kekacauan Suriah.
Tak hanya di Suriah, Lebanon juga menyimpan jejak sejarah yang serupa. Michel Aoun, tokoh kristiani berpengaruh, pernah menjadi buronan negara sendiri ketika ia menolak keberadaan pasukan Suriah di Lebanon dan berujung dalam pengasingan. Namun puluhan tahun kemudian, Aoun kembali dan terpilih sebagai Presiden Lebanon melalui proses politik resmi. Masa lalunya sebagai “pembangkang” kini dianggap sebagai simbol keteguhan oleh pendukungnya, sementara lawan-lawan politiknya tetap menuduhnya membawa warisan konflik sektarian yang tidak tuntas.
Transformasi citra dari “teroris” menjadi “pemimpin sah” tidak hanya terjadi di kalangan Arab. Israel, negara yang kerap menuduh lawannya sebagai teroris, juga menyimpan sejarah yang sama. Sebagian besar partai politik utama Israel saat ini—termasuk Likud—berakar dari organisasi bawah tanah Zionis seperti Irgun dan Lehi yang oleh Inggris saat itu dikategorikan sebagai kelompok teroris. Sampai sekarang kebijakan Israel ke jutaan warga Palestina di dalam dan luar negeri juga masih terinspirasi oleh aksi terorisme, meski sudah dilakukan oleh negara melalui lembaga intelijen seperti Mossad. Tokoh seperti Menachem Begin, yang pernah memimpin Irgun, akhirnya menjadi Perdana Menteri Israel dan bahkan peraih Nobel Perdamaian.
Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), pernah dicap sebagai teroris oleh Israel dan Barat pada puncak konflik di era 1970-an dan 1980-an. Namun ketika realitas politik berubah, Arafat menjadi mitra dalam perundingan Oslo dan bahkan mengunjungi Gedung Putih sebagai simbol perdamaian. Bagi rakyat Palestina, Arafat tetap dikenang sebagai ikon perlawanan dan perjuangan hak-hak nasional, meskipun sebagian kalangan internasional terus mengkritik warisan politiknya.
Perbedaan tajam dalam cara melihat tokoh-tokoh ini mencerminkan betapa kuatnya politik identitas dan tafsir kekuasaan di Timur Tengah. Tidak ada satu pun pemimpin di kawasan ini yang bisa sepenuhnya lolos dari tudingan ekstremisme atau kekerasan, karena hampir semua terlibat dalam konflik bersenjata atau perlawanan bawah tanah pada satu titik dalam karier mereka. Namun label “teroris” atau “pahlawan” sangat tergantung pada siapa yang berbicara, dari sudut pandang mana, dan dalam konteks sejarah seperti apa.
Media internasional pun berperan besar dalam membentuk persepsi ini. Ketika seorang pemimpin mulai bersekutu dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, labelnya bisa berganti dari “milisi” menjadi “aktor lokal yang kredibel.” Sebaliknya, jika ia mulai menantang kepentingan regional atau global, maka tuduhan radikalisme kembali mencuat. Narasi ini terus diputar dalam siklus yang seakan menjustifikasi intervensi luar ataupun legitimasi dalam negeri.
Dalam konteks ini, perubahan status dari “buronan” menjadi “presiden” atau dari “komandan gerilya” menjadi “pejabat sah” bukanlah pengecualian, melainkan norma dalam politik kekuasaan Timur Tengah. Pemimpin yang hari ini disebut sebagai pengacau mungkin saja besok duduk di meja PBB sebagai kepala negara. Mereka yang hari ini dipuji sebagai mitra damai bisa jadi besok dikucilkan karena berubah haluan atau melawan arus geopolitik.
Tidak sedikit dari tokoh-tokoh ini yang bahkan tetap mempertahankan jaringan masa lalu mereka, baik secara ideologis maupun struktural. Mereka membawa warisan perjuangan ke dalam sistem pemerintahan, menegosiasikan ruang antara realitas negara modern dan loyalitas lama terhadap kelompok atau gerakan bawah tanah. Ini menimbulkan dilema antara hukum internasional, legitimasi lokal, dan kebutuhan stabilitas.
Sebagian pengamat menilai bahwa tafsir ganda ini adalah bagian tak terelakkan dari negara-negara pascakonflik. Dalam situasi di mana kekuasaan tidak tumbuh dari proses demokrasi yang mapan, melainkan dari senjata dan pengaruh eksternal, identitas pemimpin seringkali berasal dari perjuangan yang bersifat militeristik atau revolusioner. Transformasi politik mereka tidak menghapus masa lalu, hanya mengalihkannya ke dalam bentuk lain.
Namun publik juga tidak selalu melihat masa lalu itu sebagai aib. Justru, bagi masyarakat yang hidup dalam penjajahan, perang saudara, atau pendudukan asing, pemimpin dengan latar belakang militan sering dipandang sebagai representasi dari ketangguhan dan harapan. Bagi mereka, seorang mantan pemberontak lebih dapat dipercaya ketimbang teknokrat asing yang disokong oleh kekuatan luar.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang standar ganda dalam menilai siapa yang disebut “teroris” dan siapa yang layak disebut “negarawan.” Dalam sejarah Timur Tengah, jawabannya hampir selalu politis, bukan moral. Mereka yang berhasil memenangkan narasi akan menulis sejarahnya sendiri, sementara yang kalah akan terus dikenang dengan stigma yang ditetapkan lawan mereka.
Sebagai akibatnya, sistem internasional pun menjadi arena perebutan makna. Resolusi PBB, daftar hitam terorisme, dan dukungan diplomatik bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal siapa yang memiliki kekuatan untuk menentukan siapa yang sah dan siapa yang tidak. Pemimpin-pemimpin Arab dengan masa lalu kontroversial ini adalah bukti nyata dari bagaimana sejarah dan politik saling berkelindan dalam membentuk makna kepemimpinan.
Selama konflik, pendudukan, dan intervensi asing terus menjadi bagian dari lanskap Timur Tengah, maka kisah-kisah tentang pemimpin yang berganti label antara teroris dan pahlawan akan terus muncul. Mereka menjadi cermin dari situasi geopolitik yang tidak pernah stabil, di mana loyalitas dan legitimasi lebih sering dibentuk oleh senjata dan diplomasi, bukan hanya oleh suara rakyat.
0 comments:
Post a Comment