Sebuah kampanye billboard di sejumlah kota Timur Tengah memantik gelombang kemarahan dan kecaman dari berbagai pihak. Dalam gambar besar yang terpampang di ruang-ruang publik itu, sejumlah pemimpin Arab tampak dipasang bersebelahan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Presiden AS, Donald Trump. Kampanye ini mengusung slogan “Saatnya Timur Tengah Baru,” dengan tujuan mendorong perluasan Abraham Accords.
Yang paling memicu amarah adalah kehadiran wajah Presiden Suriah, Ahmad al-Sharaa yang wilayahnya Dataran Tinggi Golan dan Quneitra masih dikuasai Israel, di antara deretan tokoh tersebut. Publik Suriah, Palestina, dan negara-negara Arab lain menilai kampanye itu sebagai bentuk penghinaan terang-terangan di tengah situasi genosida yang masih berlangsung di Gaza. Banyak yang menilai pemasangan billboard ini bukan sekadar propaganda politik, tetapi upaya sinis melecehkan moralitas dan nurani kemanusiaan.
Sejumlah pengamat menyebut, di saat ribuan warga Gaza masih tewas, kelaparan, dan terjebak di bawah puing-puing serangan udara, propaganda seperti ini hanya akan mempertegas wajah politik Timur Tengah yang semakin dingin terhadap tragedi kemanusiaan. Billboard itu, berhasil atau tidak, dinilai sebagai pesan provokatif untuk meledek keteguhan solidaritas Arab terhadap Palestina.
Secara simbolis, billboard tersebut tak hanya mempromosikan normalisasi, melainkan juga menyampaikan pesan superioritas kekuatan militer atas kepentingan kemanusiaan. Kampanye semacam ini jelas memperlihatkan bahwa bagi sejumlah kekuatan politik, kehancuran Gaza bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk memaksa agenda regional yang lebih pragmatis.
Banyak pihak meyakini, munculnya billboard ini sengaja dipasang untuk mengetes reaksi publik Arab. Bila protes bisa diredam atau dianggap angin lalu, maka proyek perluasan Abraham Accords akan terus didorong tanpa peduli kondisi di lapangan. Hal ini menjadi sinyal bahwa krisis Gaza semakin dipinggirkan demi kepentingan diplomasi strategis kawasan.
Para analis Timur Tengah menilai kampanye tersebut merupakan bentuk normalisasi paksaan. Alih-alih memperbaiki ketegangan, billboard itu seakan merayakan keberhasilan militer dan menertawakan derita warga sipil Gaza. Dalam konteks ini, billboard itu jelas lebih dekat sebagai penghinaan moral ketimbang diplomasi damai.
Di sisi lain, billboard tersebut dipandang sebagai upaya menekan pemimpin negara-negara Arab yang masih enggan menormalisasi hubungan dengan Israel. Dengan mencantumkan nama dan foto mereka, Israel dan pendukungnya berharap memunculkan kesan bahwa proses normalisasi tinggal menunggu waktu dan semua pemimpin Arab akan ikut dalam barisan.
Kampanye seperti ini sejatinya juga membongkar realitas bahwa isu Palestina kini telah menjadi alat tawar diplomasi politik. Di balik janji “Timur Tengah Baru,” yang dipromosikan, banyak pihak yakin hal ini tidak membawa keadilan bagi Gaza, melainkan melanggengkan dominasi politik dan militer Israel di kawasan.
Tak sedikit pihak memandang billboard itu bukan sekadar promosi, melainkan pesan politik penuh ejekan. Pesan yang secara implisit menyatakan bahwa penderitaan Gaza tak lagi punya nilai dalam percaturan politik Arab modern, dan bahwa kekuatan militer dapat menentukan arah persekutuan politik tanpa perlu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebanon, Suriah, dan Irak langsung mengecam kampanye tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap hak-hak rakyat Palestina. Beberapa media pro-perlawanan menyebut billboard ini sebagai tindakan biadab yang menampilkan wajah Timur Tengah baru tanpa rasa malu di atas jasad-jasad warga Gaza yang masih tertimbun reruntuhan.
Bahkan di beberapa kota di Yordania dan Mesir, masyarakat sipil menyerukan pencopotan billboard tersebut. Mereka menilai kampanye itu tidak hanya mencoreng solidaritas Arab, tetapi juga menciderai perasaan umat manusia yang masih memiliki nurani terhadap penderitaan warga Gaza.
Para aktivis HAM internasional turut mengkritik bahwa penggunaan visual kampanye semacam ini di saat genosida sedang berjalan, menunjukkan betapa nilai-nilai kemanusiaan dipinggirkan dalam kepentingan geopolitik. Mereka menyebut kampanye itu sebagai tragedi moral yang layak dicatat dalam sejarah politik kawasan.
Di media sosial, ribuan warganet Arab dan internasional menyebut billboard tersebut sebagai “propaganda tercela” dan “poster pengkhianatan.” Tak sedikit pula yang mempertanyakan bagaimana mungkin pemimpin-pemimpin yang disebut di sana bisa rela wajah mereka dipajang di samping pemimpin negara yang tengah melakukan penindasan.
Dalam konteks geopolitik, billboard ini bisa dibaca sebagai isyarat bahwa Israel berusaha memanfaatkan momen keunggulan militernya untuk memaksakan rekayasa politik regional. Di balik itu semua, pesan utamanya adalah mengesankan bahwa kekuatan senjata lebih menentukan daripada penderitaan kemanusiaan.
Sebagian pengamat menilai, sekalipun billboard ini sukses dalam agenda diplomatik, ia tetap mencetak luka dalam sejarah solidaritas Arab. Hal ini mempertegas bahwa realitas politik kawasan kini bergerak ke arah pragmatisme ekstrem yang abai terhadap prinsip keadilan.
Tak sedikit pula yang melihat billboard ini sebagai bentuk pelecehan terbuka terhadap perjuangan Palestina. Bukan hanya soal pemasangan gambar, tapi pesan moral yang ingin disampaikan adalah bahwa perjuangan Gaza dianggap usang dan tak relevan dalam diplomasi modern.
Di mata rakyat Gaza sendiri, billboard itu barangkali bukan hanya propaganda, melainkan penghinaan atas ribuan nyawa keluarga mereka yang telah melayang. Ini bukan hanya kampanye, tetapi pesan yang menyiratkan bahwa nyawa dan penderitaan mereka tak lagi punya makna di peta politik kawasan.
Sebagian kalangan politik Timur Tengah justru meyakini bahwa billboard ini akan memperdalam jurang ketegangan di antara negara-negara Arab. Alih-alih menciptakan stabilitas baru, normalisasi paksa semacam ini berisiko menimbulkan ketidakpuasan luas di akar rumput.
Akhirnya, apakah billboard ini akan sukses atau gagal, pesan sinisnya sudah nyata: di tengah genosida, diplomasi Timur Tengah sedang diarahkan oleh mereka yang lebih peduli kekuatan militer daripada nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah tragedi moral yang terjadi di depan mata dunia.
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya
0 comments:
Post a Comment