Wednesday, 25 June 2025

Rohingya Tanpa Pemimpin Kharismatik di Tengah Derita


Di tengah derita panjang yang dialami oleh jutaan pengungsi Rohingya, baik di kamp-kamp sempit Bangladesh maupun diaspora di Eropa dan Amerika Serikat, satu pertanyaan mencuat: mengapa belum muncul seorang pemimpin tunggal yang mampu menyuarakan penderitaan mereka secara luas dan efektif? Meski terdapat banyak organisasi Rohingya di luar negeri seperti Rohingya Culture Center di AS, European Rohingya Council, dan lembaga-lembaga advokasi lainnya di Australia dan Kanada, suara Rohingya tetap terdengar terpencar, lemah, dan kerap dikaburkan oleh dinamika politik internal maupun eksternal.

Tantangan utama bagi komunitas Rohingya untuk melahirkan sosok pemimpin karismatik adalah kondisi pengungsian yang represif dan tidak stabil. Di kamp-kamp seperti Kutupalong di Cox’s Bazar, Bangladesh, upaya membangun struktur kepemimpinan yang kuat sering kali diganggu oleh kelompok-kelompok bersenjata, baik yang terorganisir secara kriminal maupun yang berkepentingan politik. Lingkungan semacam ini membuat munculnya tokoh yang berani dan vokal menjadi taruhan nyawa.

Kematian Mohibullah pada 29 September 2021 menjadi contoh nyata risiko besar yang dihadapi oleh para pemimpin Rohingya. Sebagai ketua Arakan Rohingya Society for Peace and Human Rights (ARSPH), ia dikenal di kancah internasional karena keberaniannya mendokumentasikan kekejaman militer Myanmar dan memperjuangkan hak-hak pengungsi. Namun, justru keberaniannya itu menjadi alasan ia menerima ancaman pembunuhan hingga akhirnya tewas ditembak di kamp pengungsian.



Pembunuhan terhadap Mohibullah bukanlah satu-satunya. Dalam kasus lain di Camp 13, dua pemimpin komunitas, Maulvi Mohammad Yunus dan Mohammad Anwar, juga dibunuh secara brutal oleh sesama pengungsi yang disebut sebagai "kelompok kriminal Rohingya." Kekerasan internal semacam ini menambah kerumitan dalam upaya pembangunan struktur kepemimpinan yang kredibel dan aman.

Pembunuhan terhadap para tokoh Rohingya tidak hanya melemahkan moral komunitas, tetapi juga menciptakan ketakutan kolektif. Banyak individu yang sebenarnya memiliki kapasitas dan visi untuk memimpin akhirnya memilih diam demi menjaga keselamatan diri dan keluarga. Dalam masyarakat pengungsi yang hidup tanpa perlindungan negara, hukum, dan sistem keamanan, keberanian bisa berarti kematian.

Meski diaspora Rohingya di Eropa, AS, dan Australia hidup dalam situasi yang lebih aman, jarak geografis dan disonansi pengalaman membuat mereka kesulitan menjadi representasi yang sahih bagi mereka yang menderita di kamp-kamp. Tidak sedikit organisasi Rohingya di luar negeri yang bersaing satu sama lain dalam mendapatkan dana donor internasional, sehingga memperparah fragmentasi suara.

Di sisi lain, negara-negara seperti Turki yang pernah berkomitmen mendukung Rohingya secara diplomatik dan kemanusiaan pun mengalami keterbatasan pengaruh. Meski Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu menerima delegasi European Rohingya Council pada 2015 dan menjanjikan dukungan penuh, hingga kini belum terlihat adanya inisiatif global konkret untuk melindungi pemimpin-pemimpin Rohingya yang berpotensi tampil sebagai figur internasional.

Ketiadaan sistem representasi formal di kamp-kamp pengungsian juga menghalangi proses demokratisasi internal di kalangan Rohingya. Kepemimpinan seringkali berdasarkan hubungan patron-klien atau bahkan kekuatan fisik, bukan legitimasi suara komunitas. Hal ini menciptakan ruang kosong bagi munculnya tokoh yang benar-benar dapat dipercaya dan didengar, baik secara internal maupun global.

Ada pula tekanan dari aktor-aktor negara seperti Bangladesh dan Myanmar yang secara tidak langsung mempersulit lahirnya figur sentral Rohingya. Bangladesh, sebagai tuan rumah pengungsi, memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan menghindari mobilisasi politik dari pengungsi yang dapat memicu konflik. Myanmar, di sisi lain, memiliki sejarah panjang membungkam tokoh-tokoh Rohingya bahkan sejak mereka masih tinggal di Rakhine.

Situasi ini membuat perjuangan Rohingya terjebak dalam dua ekstrem: mereka yang berada di dalam kamp menghadapi ancaman pembunuhan jika vokal, sementara mereka yang berada di luar negeri tidak cukup punya legitimasi moral dan kultural untuk memimpin seluruh komunitas. Jurang ini memperlemah perjuangan kolektif Rohingya dalam menuntut keadilan internasional.

Faktor pendidikan dan pengalaman juga menjadi tantangan lain. Banyak pengungsi Rohingya yang hidup bertahun-tahun tanpa akses pendidikan formal, apalagi pendidikan kepemimpinan atau diplomasi internasional. Kondisi ini menyulitkan proses munculnya pemimpin dengan kapasitas menyuarakan aspirasi dalam forum-forum global secara efektif.

Kehadiran lembaga-lembaga Rohingya di luar negeri, meskipun penting, masih sangat terfragmentasi. Beberapa lembaga terbentuk berdasarkan garis etnis, agama, atau bahkan afiliasi politik, dan bukannya menyatu dalam platform tunggal, mereka justru memperdalam perbedaan strategi perjuangan.

Ketiadaan pemimpin tunggal juga berdampak pada lemahnya posisi tawar Rohingya dalam negosiasi pemulangan ke Myanmar. Tanpa sosok yang memiliki pengaruh dan dipercaya komunitas, semua inisiatif repatriasi hanya menjadi agenda sepihak negara tuan rumah atau lembaga internasional tanpa partisipasi efektif dari warga pengungsi sendiri.

Namun, semua ini bukan berarti Rohingya tidak memiliki harapan. Generasi muda Rohingya yang kini mulai mendapat akses pendidikan di luar negeri memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin masa depan. Namun mereka butuh waktu, ruang aman, dan dukungan struktural untuk bisa berkembang dan tidak mengalami nasib serupa seperti Mohibullah.

Kondisi psikologis komunitas juga perlu menjadi perhatian. Trauma panjang akibat genosida, kekerasan, dan pengungsian membuat banyak warga Rohingya hidup dalam rasa tidak percaya terhadap kepemimpinan, baik yang datang dari dalam maupun luar komunitas mereka sendiri. Membangun kembali kepercayaan ini membutuhkan kerja panjang lintas sektor.

Peran organisasi internasional seperti UNHCR, IOM, dan lembaga donor juga tidak bisa diabaikan. Mereka harus lebih aktif membina kaderisasi kepemimpinan lokal di kamp, bukan sekadar menyediakan bantuan logistik. Tanpa pemimpin yang kuat dan diterima, agenda advokasi Rohingya akan terus stagnan.

Pembentukan "platform pemersatu" Rohingya lintas diaspora mungkin menjadi salah satu jalan keluar. Namun inisiatif ini harus muncul dari dalam komunitas, bukan paksaan eksternal. Upaya ini juga harus menjamin keamanan, legitimasi demokratis, serta perlindungan dari infiltrasi kelompok ekstrem.

Selama sosok seperti Mohibullah dibungkam tanpa ada perlindungan internasional yang memadai, maka harapan munculnya pemimpin Rohingya yang benar-benar didengar dunia akan terus menjadi mimpi yang jauh. Tanpa pemimpin, perjuangan Rohingya terancam kehilangan arah dan keberlanjutan.

Akhirnya, krisis kepemimpinan di kalangan Rohingya bukan hanya persoalan individu, tapi juga cerminan dari betapa rapuhnya tatanan sosial dan politik yang mengikat komunitas ini. Untuk membangkitkan kembali suara Rohingya, dunia tidak cukup hanya mengirim bantuan. Dunia harus membantu mereka menciptakan ruang bagi munculnya suara yang utuh, kuat, dan tak lagi dibungkam.

Baca selanjutnya

Admin

PKBM & KataBijak

PKBM Kata Bijak adalah sekolah alternatif untuk menaungi mereka yang tidak mampu. Bagian dari Sultan Group, kami dapat dihubungi di: +6281284179400 atau email: redaksi.dekho@gmail.com

0 comments:

Post a Comment